Filosofis Jawa pada Novel Canting
Novel Canting merupakan novel best seller sekitar tahun 2018. Alhamdulillah, baru tahun ini saya bisa menuliskan reviewnya, padahal sudah dua kali tamat membaca novelnya.
Urip rekasa gelem, mukti uga bias, sabaya mukti sabaya pati (hidup dalam kesusahan bersedia, hidup makmur pun bisa, sehidup semati dalam suka maupun duka)
Judul Buku: Canting
Penulis: Fissilmi Hamida
Penerbit: KMO Publishing
Cetakan I : 2018
Jumlah halaman: 360
Isi Cerita
Canting bercerita tentang perjuangan perempuan muda bernama Sekar, seorang putri dari Simbok yang bekerja di rumah Sundari, juragan Batik orang tua Den Hadi yang kelak menjadi suaminya. Keluarga Den Hadi menerima Sekar yang memiliki tingkah laku yang baik sebagai menantu, ditambah Sekar sangat lihai dalam membuat batik Truntum. Awalnya Sekar menolak keinginan ayahnya untuk menikah, namun lagi-lagi ia dan Simbok tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya Sekar pun menikah dengan Den Hadi untuk menyenangkan hati ayahnya dan sebagai bukti bakti seorang anak kepada orang tuanya.
Sosok Den Hadi calon suami Sekar merupakan anak tunggal pemilik usaha Batik The House of Sundari dan jebolan kampus ternama di Yogyakarta, UGM. Hadi sudah sejak lama menaruh hati pada Sekar, gadis sederhana seorang anak dari rewang ibunya. Hadi tahu, Sekar selalu minder bersamanya, apalagi pasca Hadi menyatakan cintanya ala-ala artis dan tetiba viral di media sosial. Hadi merasa ia harus ngemong dan ngayomi calon istrinya agar ia nyaman hidup bersamanya.
Tibalah saat pernikahan, dengan memakai cunduk menthul, Sekar tampil cantik, hingga muncullah seorang perempuan cantik, Ajeng dengan dandanan yang seolah menyamai sang pengantin. Kehidupan Sekar tak hanya penuh dengan kebahagiaan, layaknya rumah tangga lainnya, ada berbagai persoalan yang juga menerpa perkawinan mereka, mulai persoalan dirinya yang masih merasa tak pantas bersanding dengan suaminya, munculnya perempuan masa lalu yang menyukai suaminya, hingga penderitaan suaminya sebab kecelakaan. Semua kejadian-kejadian yang Sekar dan Hadi alami membutuhkan pengorbanan, namun, Sekar berhasil melewati semuanya dengan bantuan dan keyakinan pada Hadi suaminya. Sehingga, rumah tangga yang mereka idam-idamkan akan terwujud.
Baca juga:
Patemun: Sebuah Novel Iustrasi Tentang Perempuan
Tentang Dominasi dan Keluarga dalam Novel Single in Love
Arti Perjuangan dalam Novel Sehidup Sesurga Bersamamu
Arti Kesetiaan dalam Novel Weeding Agreement
Refleksi Pembacaan atas Novel Canting
Novel Canting ini sarat dengan filosofis Jawa, walaupun saya orang Jawa campuran Madura, asli saya baru membaca pepatah atau peribahasa yang tertulis dalam lembar-lembar novel ini. Bagi saya pribadi, pepatah atau peribahasa ini memiliki nilai-nilai filosofis Jawa yang berbeda dengan peribahasa lainnya, dimana sarat dengan pelajaran, arahan, dan nasihat yang menjadi haluan kehidupan. Hal ini terlihat dari beberapa percakapan Emak dan Sekar. Ya, sebagai wujud dari kasih sayang seorang ibu kepada putrinya, pepatah-pepatah dan peribahasa Jawa yang disampaikan dalam novel ini sangat memotivasi dan menjadi penguat dalam barisan kata-kata dari seorang Emak untuk sang anak.
Membaca novel Canting ini seakan berkaca pada kehidupan rumah tangga setiap orang yang pastinya dalam perjalanan bahtera pernikahan itu tidak selalu mulus, melainkan penuh dengan rintangan. Buku Canting karya Mbak Fissilmi Hamidah ini layak dibaca oleh para pasangan muda dan juga pasangan yang sudah lama berumah tangga, agar senantiasa menilik kembali bahwa sejatinya mengarungi bahtera kehidupan itu memang tak mudah, dan ada banyak pengorbanan di dalamnya. Selamat membaca.