Café Vintage pukul 15.45 sore.
Rutinitas sore di akhir pekan selalu Natasya habiskan dengan kegiatan “me time”, sekedar untuk menikmati secangkir lemon tea hangat dengan Puff Pastry bertabur gula dan bubuk cinnamon kegemarannya. Baginya mengunjungi tempat ini sudah menjadi bagian ritual hidupnya, tak pelak beberapa pekerja café pun telah familiar dengan sosok perempuan berkacamata ini.
Bangku dekat jendela adalah spot teraman dan tercocok bagi dirinya saat menikmati kegiatan “me time”, selain menghadap langsung pada jalanan yang cukup ramai, lokasinya juga agak tersembunyi dan pas sekali dengan sosok Natasya yang tak menyukai keramaian. Oh ya, café Vintage ini cukup luas dengan interior klasik, dominasi warna pastel dengan aksen perabotan kayu yang membuat nyaman untuk dikunjungi, karena ia penyuka barang-barang antik.
Malika adalah alasan perempuan berkepala empat itu kerap mengunjungi café ini. Café yang sudah puluhan tahun bermertamorfosis hingga kini, dan Natasya adalah pelanggan setia. Baginya sudut-sudut café ini banyak menyimpan kisah hidupnya.
***
“M-A-L-I-K-A” senyum perempuan berkerudung hitam terpancar dari balik parasnya yang ayu, saat meninggalkan klinik bersalin sendirian. Ia telah membuat rencana baru dalam hidupnya, bahwa sebab Malikalah ia akan merombak perjalanan hidupnya, semuanya.
Perlahan waktu seakan membersamai Natasya dan membantunya dalam pengasuhan Malika, putri semata wayang yang tumbuh menjadi gadis kecil yang menggemaskan. Sinar matanya yang teduh selalu mengalirkan energi baru bagi Natasya, bahwa ia harus menjadi ibu yang baik, bertanggung jawab. Ia juga berupaya agar Malika mendapatkan pola pengasuhan yang benar, pendidikan yang tinggi, dan asupan nutrisi yang baik, sehingga kehidupannya kelak akan layak serta lebih baik dari dirinya.
***
Gadis kecil berambut panjang itu tengah berlari di lapangan, ia mencoba berbagai permainan olahraga yang disukainya, mulai bola voli, bulutangkis, dan lari. Tak ada kata lelah dalam kamus hidup Malika, padahal sering Natasya mengajaknya untuk beralih kegiatan, seperti menari, mendesain atau menulis seperti kegemarannya, agar Malika tak terlalu lelah. Namun, Malika lebih nyaman dan menyukai kegiatan olahraga, walhasil mau tak mau Natasya akan mendukung seratus persen keinginan putri satu-satunya.
“Yuk, kita istirahat dulu,” Natasya berteduh di balai-balai dekat lapangan seraya menyelonjorkan kedua kakinya, lalu mengeluarkan air mineral dan meminumnya.
“Mama yang semangat dong kalau olahraga” senyum Malika, saat menyadari Mamanya yang setengah ogah-ogahan saat diajak main bola voli.
“Siap,” Malika mengangkat jempolnya seraya meminum air mineralnya lagi.
***
Malika, gadis penyuka olahraga ini hampir tak pernah bersedih. Natasya berusaha menjadi pelindung putri kecil satu-satunya. Baginya, Malika adalah berlian yang harus dijaga, tak peduli seberapa lelah ia bekerja.
Sebagai seorang content writer, Natasya selalu bersemangat mengumpulkan pundi-pundinya. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Buktinya, hingga kini Allah masih memberinya kesempatan untuk selalu bersemangat dan berdamai dengan masa lalunya. Sudah sepuluh tahun ia menggeluti dunia content writer, tepatnya sejak Malika hadir.
***
Mungkin, café akan menjadi rumah kedua bagi Natasya sejak Malika berkeluarga.
“Ma, Malika akan menikah,” suara Malika berbisik seakan bergetar.
“Siapa laki-laki itu?,” pandangan tajam Natasya menghujam. Ia tahu saat ini akan tiba. Ia memastikan pilihan Malika adalah orang yang tepat.
“Teman kuliahku Ma, namanya Andi,” senyum Malika seraya mengikat rambutnya yang panjang, lalu menggenggam erat kedua tangan Mamanya.
“Sudah berkenalan dengan keluarganya?” tanya Natasya, matanya terasa basah. Malika mengangguk dan selang tiga bulan pasca pembicaraan di café, Andi melamar Malika, lalu pernikahan mereka berdua digelar tahun depan.
***
Tak mudah menjalani kehidupan sebagai ibu, walaupun tak ada batasan waktu mengasuh anak, saat anak memutuskan untuk menikah, membina kehidupan baru dan perlahan pergi dari sisi ibunya. Natasya menyadari, sebagai seorang ibu, waktu itu akan tiba, saat sendiri menyergap hingga tak jarang ia merasa hidup dalam kenangan.
Perlahan disesapnya secangkir lemon tea hangat. Ia ingat saat Malika hampir selalu mengekplorasi seluruh sudut café, hingga ia panik saat Malika tak ditemukan. Rupanya ia sedang bermain petak umpet, dan bersembunyi di dapur café. Malika yang super berenergi terkadang membuatnya sedikit khawatir.
Natasya tersenyum seraya terus mengudap puff pastry favoritnya. Entah, ia seakan tak peduli dengan dampak mengudap kue favoritnya. Baginya, tubuh langsing tak lagi menjadi idamannya, sejak ia mengubah rencananya setelah kelahiran Malika.
Ia kembali teringat saat Malika merajuk dan menginginkan es krim di sebuah kedai es yang pernah diceritakan teman-teman sekolah dasarnya. Malika tahu bahwa Mamanya bukan pekerja kantoran yang setiap tanggal satu pasti mendapatkan gaji. Sehingga ia harus menabung demi menikmati es krim.
Malika ternyata juga lebih bijak darinya, di saat keuangan Natasya sangat minim, Malika berkata bahwa akan lebih baik berpuasa dan bersedekah untuk mendapatkan rezeki yang lebih banyak dan barokah.
“Malika…betapa banyak kisah kita,” bisik Natasya. Lalu matanya kembali membasah. Ia terlalu menyayangi Malika.
***
Sudut café ini semakin menghangat diterpa udara musim panas, saat Malika menemukan Natasya duduk di hadapan laptop putih dengan sekotak Puff Pastry yang akan dibawanya pulang.
“Mama…, Malika tahu Mama pasti disini,” Malika menghambur ke pelukan Mamanya. Natasya memandang Malika dengan takjub. Gamis berwarna biru tua dengan jilbab senanda sangat pas membalut tubuh langsing gadis di depannya.
“Masya Allah, cantiknya anak Mama,” senyum Natasya, sembari mengusap matanya yang selalu membasah. Ia bahagia melihat penampilan Malika yang semakin menawan dengan balutan busana muslimah.
“Kok nggak bilang kalau mau datang?” tanya Natasya menatap Malika.
“Sesekali kejutan dong Ma,” senyum Malika sembari menggenggam tangan Mamanya.
“Mama lupa ini hari apa?,” Malika memeluk erat Mamanya.
“Hari Sabtu ‘kan?,” tepuk Natasya pada pipi gadis dewasa dihadapannya.
“Mama kok lupa sih?,” bola mata Malika membulat menatap Mamanya yang berkemas untuk pulang.
“Let’s go” ucap Natasya sembari mengamit tangan Malika, lalu ia sengaja mampir ke toko kue langganan dan membeli kue ulang tahun untuk Malika.
Natasya tersenyum mengingat semuanya. Ia harus segera pulang setelah mengirim seluruh artikel yang harus ia kerjakan. Udara mulai dingin dan malam akan tiba.
***
Café Vintage di sore hari.
Ulang tahun Malika selalu penuh makna bagi Natasya. Masih terbayang rasa perih dan bahagia yang bercampur aduk saat ia melahirkannya. Natasya kembali membuka album biru dan mengusap foto-foto ulang tahun Malika sejak usia 1 tahun hingga 24 tahun. Setelah Malika menikah dan hidup di negeri orang bersama suaminya, Natasya tak lagi merayakan ulang tahun Malika. Kini, keberadaan teknologi cukup membantu kerinduannya pada Malika, gadis kecilnya. Begitu pula di hari ulang tahunnya, keduanya selalu bertemu lewat video call.
Sendiri memang kerap menyakitkan. Namun, Natasya berusaha mengisinya dengan kegiatan menulis yang ditekuninya. Rutinitas hidupnya tetap tak berubah. Ia selalu mengingat gadis kesayangannya saat berada di dalam café tempat Malika pernah bermain dan singgah. Natasya akan terus mengunjungi café itu, sebab ia dengan mudah memanggil semua memori tentang kebersamaannya bersama Malika tanpa ada rasa penyesalan.
Malang, 30 Januari 2021
Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel“.
32 Comments. Leave new
Waaaahhhhh bagus ustadzah. Masyallah, semangat selalu ustadzah.
Syukron Mas Dika, semangat menulis yaa.
Ikut larut dalam kesendirian Natasya saat ini, tapi bahagia karena Malika sudah memiliki dunianya yang indah juga. Bercermin diri, pelan-pelan kita juga akan mengalaminya, seiring waktu dan usia.
Bener banget Mbak, siklus seorang Ibu ya?
Ditinggal nikah oleh sahabat karib juga sedih. Apalagi ditinggal pergi oleh orang tersayang untuk selamanya. Salsm literasi, Mbak Laily.
Iya Mbak. Natasya ditinggal Malika anaknya. Salam literasi juga Mbak.
Melow deh kalo udh bahas2 hubungan orang tua dan anak. Jadi membayangkan ibu saya dan saya lalu jadi saya dan anak saya kelak. Huhu. Btw, sukses Mbak lomba cerpennya yaa..
Iya Mbak, melow banget. Terima kasih doanya Mbak. Sukses juga buat Mbak.
Kisah antara orang tua dan anak alan selalu membawa keharuan. Single parent yang luar biasa Natasya, bisa membesarkan Malika seorang diri dan membuatnya menjadi seorang Muslimah sejati. Terharu aku mbak baca kisahnya. Semoga menang ya mbal lombanya.
Iya Mbak. Terima kasih atas doanya yaa? Semoga kita menjadi Ibu yang luar biasa. Amiin.
Cerita yang Manis banget mbak, meski àda dukanya semangat mengisi harinya sangat inspiring
Terima kasih Mbak, iya cerita sedi dan bahagia ini Mbak.
Ceritanya mengharukan. Menimbulkan kesan perasaan rindu di pengujung cerita. Siklus menjadi orangtua, harus menghadapi ketika anaknya suatu ketika pergi meninggalkan rumah untuk menjadi pribadi yang mandiri.
Benar Mbak. Mau tak mau sebagai orang tua harus merelakan.
Rasanya menjadi orangtua itu terasa lambaaan ketika mereka masih bayi.
Namun perlahan mereka tumbuh dan akhirnya ketika sudah mandiri, mereka harus menjalani hidup tanpa orangtua.
Ada rasa haru di sini, sebuah proses yang pasti akan dilewati.
Betul sekali Mbak. Kita akam mengalami perjalanan ini yaa.
Ceritanya bagus dan mengharukan.. jadi ingat anak sendiri
Terima kasih Mbak atas apresiasinya.
Seru ih fiksinya! Tapi jadi agak mellow bacanya, inget anak2 sendiri eh udh gede
Iya ya Mbak? dakupun begitu.
huaa langsung ingat anak perempuan ku, cerita tentanf hub ibu dan anak perempuan nya memang menarik untuk diulas ya mbak.
good luck buat lombanya
Iya Mbak. Terima kasih atas doa Mbak.
Nggak siap rasanya menghadapi anak anak tumbuh remaja hingga dewasa. Selain kerinduan seperti diceritakan diatas, pasti juga banyak tantangannya. Semoga saja kelak kalau sudah waktunya bisa jadi ibu yang sabar dan ikhlas.
Amiin Mbak. Siap ndak siap harus siap ya Mbak.
So sweet ceritanya ya Mbak Laily… hubungan yang hangat antara mama dan anak perempuannya ya, suka ketemuan di cafe, pastinya sampai kapanpun bondingnya akan terikat kuat ya
Iya Mbak, terima kasih Mbak.
Duh hubungan ibu dan anak perempuan ya selalu so sweet. tisu mana tisu, good luck mbak laily.
Betul banget Mbak Shafira. Terima kasih Mbak.
Pas banget ketika membaca cerpen ini aku sedang berulang tahun. Jadi baper baca cerpen ini. Can relate dengan pesan yang ada di dalmnya. Sukses, Mbak.
Terima kasih banget Mbak.
Sangat terharu dan menginspirasi, keren Ustazah Laily
Syukron Mas