Nina meletakkan semua barang-barangnya sembari merebahkan diri di pembaringan. Hari ini cukup melelahkan. Pekerjaan kantor yang kejar tayang membuatnya harus segera menyelesaikan sesegera mungkin, tak pelak lagi ia sering membawa tugas kantornya pulang.
Drttt….android Nina menyalak
“Udah di kost?” pesan Albi terpampang.
“Baru sampai” ucap Nina sembari meminum air mineralnya.
“Jadi ke toko buku ntar?” pesan Albi muncul lagi
“Jadi,” Nina menuliskan pesan.
“Oke, I’ll be there habis maghrib” Albi mengakhiri pesannya.
Nina beranjak menuju kamar mandi, sebentar lagi maghrib tiba. Ia harus segera bersiap-siap. Sembari menunggu Albi, Nina sengaja membuka koleksi buku-buku novel yang dibelinya. Entahlah, sejak setahun lalu ia gemar berburu novel. Setiap kali habis gajian pasti Nina menyisihkan anggaran untuk membeli novel. Hobi membacanya sedang ia coba jalani, dan lagi-lagi ia hanya ingin me time nya positif, menggali makna kehidupan yang tersebar dalam jalinan cerita yang disuguhkan lewat novel-novel. Sebuah buku diary berwarna merah muda terjatuh ke lantai. Nina memungutnya, wajahnya sejenak bersemu merah.
Lampu baca mulai ia nyalakan. Lembaran-lembaran halaman diary dengan tinta biru, hitam dan sesekali ada stabilo berwarna pink di sana-sini. Nina ingat, ini diary lima tahun yang lalu. Lama sudah ia tak lagi menyapa sahabat terbaiknya, sang diary. Diary merah jambu ini seakan merepresentasikan pernak-pernik hidupnya. Ia pernah menuliskan cerita tentang awal-awal bekerja di kantor majalah sebagai akuntan, pernah pula ia bercerita tentang liburan pertamanya ke Pulau Pahawang di Lampung, perjalanan pertamanya ke Aceh dan juga tentang Jason, lelaki yang pernah menawan hatinya.
“Ry, aku tak pernah tahu tentang hati ini. Tentang hati Jason aku juga tak tahu, tapi dari binar matanya kutahu ia nyaman bersamaku.”
“Hari ini melelahkan Ry. Perjalanan ke Pahawang keren banget, walau saat balik ke daratan ombak agak gede…duh semua kawan-kawan siap-siap berpelampung dan berdoa. Kau tahu, aku seakan mengingat berbagai kejadian pesawat yang jatuh ke lautan, entahlah. Alhamdulillah Allah menjagaku dan kawan-kawan.”
“Aku tak tahu harus bilang apa Ry. Jason pergi mengejar cita-citanya, dan aku tak tahu dia akan kembali apa nggak. Let it be Ry, life must go on.”
Nina menarik napas dan mengulas senyum. Bayangan Jason kembali tergambar lewat lukisan teratai yang ia letakkan di belakang lemari pakaian. Baginya Jason adalah masa lalu.
“Drrttt….. drttt” gawai Nina berbunyi.
“Ya, udah di depan?” tanya Nina.
“Sorry gue telat Nin,” suara Albi terdengar.
“Nevermind, aku turun,” ucap Nina seraya memperbaiki riasan simpelnya dan menyambar tas mungil beige.
“Kita ke toko buku mall atau ke Gramed?” senyum Albi. Ia tampak segar dengan aroma citrus dan tampilan denim yang menambah kesegaran laki-laki berkacamata di hadapannya.
“Ke Gramed mall aja” senyum Nina, lagi-lagi aroma citrus Albi mengganggunya.
“Something happen with you?” tanya Albi sembari memarkir Daihatsunya. Diliriknya perempuan disampingnya yang sejak tadi terdiam.
“No, I’m fine” Nina melempar senyum, ia tak ingin Albi tahu tentang debaran yang tengah berlompatan saat mencium aroma citrus.
***
“New parfum?” tanyaku pada lelaki yang menungguku di Café depan kampus.
“Yeah, do you like it?” senyum laki-laki jangkung di hadapan Nina. Nina mengangguk seraya menyeruput jus jeruk yang telah dipesan Jason.
“I like citrus. Baunya menyegarkan dan nggak bikin bosan, aroma terapilah” senyum Nina sembari membuka buku-buku yang sengaja Jason bawa untuknya.
“Novel-novel milik Pramudya udah aku borong, special for you” netra Jason menatap perempuan penyuka dandanan simpel di hadapannya. Ia tahu betul bahwa makanan penulis adalah buku-buku.
“Keren banget, thank’s ya Jason, bikin repot kamu aja nih,” senyum Nina.
Jason kembali tersenyum dan mereka berbincang tentang acara pameran lukisan Jason dan kawan-kawannya yang tinggal beberapa minggu lagi.
***
Hari yang ditunggu tiba. Malam ini sengaja kupakai dress gelap berbahan satin dengan renda dan pernak-pernik mutiara untuk menghadiri pameran lukisan Jason. Aku berangkat sendiri, karena Jason harus stand by di pameran.
“You look so beautiful” Jason melempar senyum dan mengajakku berfoto sebelum mengantarku berkeliling menikmati lukisan.
“You too Jason” senyumku. Jason mengamit tanganku dan membawaku berkeliling melihat 30 lukisan yang dipamerkan di ballroom hotel Sartika malam ini. Ada 10 lukisan Jason yang ikut dipamerkan, kesemuanya bercerita tentang sketsa alam, ia pelukis aliran naturalis, baginya alam menggambarkan makna kehidupan yang dinamis. Jason sangat memiliki passion dalam bidang ini. Tak pelak, 5 lukisannya laku terjual dengan harga yang lumayan fantastis.
“Wow, selamat ya Jason, lukisanmu laku, laris manis.” senyum Nina. Lagi-lagi laki-laki di hadapannya tertawa lepas dan berkeinginan untuk memberikan sebagian penjualan lukisannya pada panti Asuhan yang dikelola oleh orang tua Nina.
“Berkat doa kamu juga. Yuk, kuantar pulang” Jason membuka pintu mobilnya. Lalu, laki-laki beraroma citrus itu memberi Nina lukisan teratai putih.
***
“Ry, entah kenapa Albi beraroma citrus, aromanya sangat menggangguku. Kenapa aroma citrus itu datang lagi Ry? Saat aku berusaha mengubur semuanya. Benar kata Lita, move on itu butuh waktu, setahun waktu yang sebentar. I must be strong Ry”.
Baru segini nih updatenya….ditunggu yah kelanjutannya. Semoga nggak bosan, he..he..
1 Comment. Leave new
❤❤