Sekolah Hutang
Mei 12, 2017
Aku adalah anak tertua
dari empat bersaudara. Sejak kecil aku telah terbiasa menyelesaikan tugas-tugas
rumah, mulai menyapu, mencuci dan mengasuh adik-adikku dari memandikan, menyuapi
serta mengajaknya bermain. Masa kecilku berlalu layaknya anak-anak kecil pada
umumnya. Kedua orang tuaku adalah orang yang memahami pentingnya menuntut ilmu
setinggi mungkin. Tak dapat dipungkiri lagi, untuk urusan sekolah, mulai uang
SPP, beli buku pelajaran, sepatu dan tas baru selalu bilang pada Bapak. Mama
selalu memberikan perhatiaan pada saya dan adik-adik apabila hendak bersekolah
dengan menyediakan sarapan yang wajib saya habiskan dan juga uang saku yang
nominalnya kecil jika dibandingkan dengan uang saku teman-temanku di Sekolah
Dasar (SD) dan juga Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN). Namun aku tak
menganggapnya sebagai masalah, sebab aku tahu bagaimana Bapak bekerja untuk
memenuhi kebutuhan kami bertujuh (saat itu juga nenek dari ibu tinggal bersama
kami).
Selepas Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Bondowoso, aku melanjutkan sekolah ke sebuah Pondok
Pesantren di Balung Jember. Biaya sekolah yang cukup besar membuatku ingin
bersekolah di Bondowoso saja. Namun Bapak bersikeras ingin memasukkan
anak-anaknya ke Pesantren. Siapa tahu kelak ilmu-ilmu di Pesantren akan membawa
manfaat bagiku, keluarga dan juga umat. Aku tahu, Bapak menyisihkan banyak uang
ditambah dengan uang pinjaman dari kantor yang harus dibayar tiap bulan lewat potong
gaji. Pernah aku mendengar kedua orang tuaku membicarakan persoalan gaji yang
tinggal sekian rupiah sebab banyak potongan, dan potongannya pun harus dibayar
selama beberapa tahun. Hal itulah yang kerap memacu semangatku untuk belajar
giat dan lulus tepat pada waktunya. Alhamdulillah aku lulus Ebtanas dan
melanjutkan ke Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) di kota Malang, tentunya
dengan kerja keras Bapak dan keikhlasan beliau menjual sepeda motor
satu-satunya transportasi yang kami miliki.
Kejadian meminjam uang
juga terjadi saat aku diminta Bapak untuk melanjutkan studi ke jenjang S2.
Padahal, adik-adikku masih studi di Pondok Pesantren dan sekolah SMA. Demi
Bapak aku mempersiapkan diriku untuk mengikuti ujian masuk Pascasarjana. Saat
itu, kuliah S2 adalah hal yang langka, tak banyak orang bias melanjutkan S2
sebab keterbatasan biaya. Namun Bapak memotivasiku, barangkali selepas S2
mendapatkan kerja dan bisa membantu sekolah adik-adik. Kali ini, Bapak meminjam
sawah adik perempuannya. Uang pinjaman sawahlah yang menjadi biayaku.
Sesungguhnya aku keberatan atas apa yang Bapak lakukan, sebab persoalan uang
apalagi dengan saudara terkadang menimbulkan banyak perselisihan. Akan tetapi
Bapak menepis semua keraguanku. “Bismillah, Bapak pinjam uang niat baik untuk
menyekolahkan kamu. Insya Allah barokah” jelas Bapak padaku dengan tersenyum.
Kebetulan anak adik perempuan Bapak masih kecil, sehingga belum membutuhkan.
Alhamdulillah saat ini Bapak
terhitung sebagai pensiunan di Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan dan aku
telah mengajar di almamaterku. Alhamdulillah dari hasil jerih payahku, aku bisa
membiayai kuliah adik-adikku dan menambah bulanan orang tua karena lagu yang
masih lama, yaitu Bapak masih punya pinjaman untuk kebutuhan adik-adikku juga,
sehingga gaji pensiun yang beliau terima cukup hanya untuk membayar rekening
air dan listrik.
Satu hal yang aku dan
adik-adik garis bawahi adalah kami diminta tolong Bapak untuk membantu melunasi
uang sawah adik Bapak. Anak adik perempuan Bapak sedang memasuki jenjang kuliah,
dan kewajiban kami adalah menyelesaikan kuliahnya dengan membantu finansial
perkuliahan selama empat tahun yang dirasa oleh Bapak cukup untuk membayar
hutang. Aku sangat memahami hal itu, sedikit demi sedikit kukirimkan uang untuk
membantu pelunasan hutang Bapak. Sebenarnya aku ingin mengirim dalam jumlah
yang besar, namun keberadaanku yang telah berkeluarga dengan dua anak yang juga
memerlukan biaya plus membayar rumah kontrakan setiap tahun sedikit
menyulitkanku untuk membantu Bapak.
0 komentar